Selasa, 27 Januari 2015

Said Budairy, Organisatoris Sejati Pendiri dan Pencipta Lambang PMII


prof. h.m. said budairy
“Lahir ketika Indonesia masih dijajah Belanda. Kakek dan bapakku orang pergerakan. Kakek anggota Majelis Konstituante, bapak anggota DPRD. Gara-gara lingkungan rasanya jalan hidupku terbentuk. Nyatanya, masih amat muda sudah aktif berorganisasi. Masuk kepanduan mulai jadi kurcaci sampai jadi Komisaris Latihan. Lalu masuk organisasi pelajar IPNU, bersama yang lain mendirikan PMII, masuk Gerakan Pemuda Ansor, aktif di NU membangun Lakpesdam dan jadi direkturnya selama 8 tahun. Jadi Bendahara PBNU. Jadi pengurus PWI Pusat. Jadi anggota DPR-GR/MPRS dari Fraksi NU, jadi anggota MPR-RI (Badan Pekerja) fraksi PPP. Ikut mendirikan koran Pelita, jadi pemimpin perusahaan koran Pedoman, jadi ombudsman majalah Pantau. Mulainya dulu ikut memimpin koran Duta Masyarakat. Terakhir jadi Staf Khusus Wakil Presiden RI. Sekarang aktif sebagai Ketua Komisi Informasi dan Komunikasi MUI dan KIP3. Menjelang usia 72 tahun sekarang ini, punya 8 cucu dari 4 anak 2 laki 2 perempuan. Melalui blog ini ingin mensyukuri usia lanjut dengan cara berbagi pengalaman. Makanya akan senang sekali kalau orang-orang muda mau bertegur sapa”.
Cerita di atas adalah tulisan tentang profil Said Budairy di blognya. Melalui tulisan tersebut Said Budairy ingin menyampaikan pengalaman perjalanannya sebagai seorang organisatoris. Dengan banyaknya organisasi, dimana Said terlibat didalamnya. Maka tidak salah jika gelar Organisatoris sejati diberikan kepadanya.
Di lingkungan aktivis Nahdlatul Ulama (NU), H.M. Said Budairy bukanlah nama asing. Bersama Abdurahman Wahid, Fahmdi D. Saefuddin, Mahbub Djuanadi dan lain-lain, namanya populer sebagai salah seorang penggerak ‘Khittah NU 1926’ pada Muktamar NU di Situbondo, Jawa Timur, Tahun 1984.
Tapi sebetulnya, sebagai aktivis NU, nama H.M. Said Budairy sudah muncar sejak akhir tahun 1950-an. Ia ikut aktif mendirikan Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Awal tahun 1960-an, ikut berjuang mendirikan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Selain merupakan salah satu dari 13 deklarator berdirinya PMII. Said juga lah, sosok pencipta lambang organisasi kemahasiswaan di lingkungan NU yang berdiri 54 tahun silam.
Sebagai seorang organisatoris sejati, semangatnya tidak pernah luntur hingga akhir hayatnya. Di usianya yang sudah menginjak 73 tahun, Said masih bersedia datang di acara-acara kecil. Sebagai Ketua Komisi Informasi dan Komunikasi di Majlis Ulama Indonesia (MUI), ia juga masih memimpin rapat-rapat.
Profil H.M Said Budairy memang profil organisasi, terutama di NU. Namanya tidak pernah lepas dari jenjang keorganisasi yang ada di NU. Mulai dari IPNU, PMII, GP. Anshor, hingga di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Tapi, ia memang tidak pernah menduduki posisi puncak. Di PBNU, jabatan tertingginya hanya sebagai Wakil Bendahara (1984-1989). Semangatnya berorganisasi, membawanya ke kursi DPR-GR/MPRS (1963-1971) di usia muda, wakil dari Partai NU.
Pak Said dikenal pekerja keras, ulet, memperhatikan yang detail-detail. Oleh karena itulah, ia dijuluki ‘si tukang organisasi’. Di PWI Pusat, ia pernah menjabat sebagai Ketua Departemen Pendidikan/Agama (1963-1967), Wakil Sekretaris Jenderal (1967-1970), dan Bendahara pada periode 1970-1973. Ia aktif juga di Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) sebagai Wakil Sekretaris Jenderal (1973-1978).
Dan di Lembaga kajian dan pengembangan sumber daya Manusia Nadlatul Ulama (Lakpesdam NU), Pak Said adalah nama yang tidak boleh dilupakan dalam kesejarahan. Di sana ia menjabat sebagai direktur dari tahun 1987 hingga 1995. Dengan segenap kekurangannya, ia berhasil memapankan organisasi itu hingga kini. Tidak banyak lembaga di NU yang eksis macam Lakpesdam, hingga ke daerah-daerah.
Ada yang meng golongankan Pak Said sebagai bagian kelompok konservatif di kalangan Nahdliyin. Ia misalnya tidak suka dengan pernyataan Gus Dur bahwa NU itu Syiah kultural. Atau ia masuk menjadi aktivis MUI dari tahun 1995 hingga akhir hayatnya, padahal kalangan NU progresif rajin melancarkan kritikan tajam pada MUI. Bahkan, Pak Said tetap memilih Partai Persatuan Pembangunan, meskipun NU telah membikin Partai Kebangkitan Bangsa.
Ia menjadi menjadi jurnalis sejak muda, sekolahnya pun tentang jurnalisme, yaitu di Perguruan Tinggi Jurnalistik Jakarta. Tapi ia tidak pernah bekerja di media massa yang bersifat ‘umum’, kecuali di SK Pedoman (sebagai Pemimpin perusahaan, 1973-1974) dan majalah Pantau (sebagai Ombudsman, 2001-2003). Selebihnya, sebagai wartawan, ia hanya bekerja di koran di lingkungan NU atau Islam pada umumnya. Sebut saja Duta Masyarakat, Pelita, Risalah, dan Warta NU. Kedudukannya sebagai anggota Lembaga Sensor Film (1999-2003) adalah representasi dari MUI.
“Saya tidak mau jauh-jauh dari ulama. Saya ingin mati bersama mereka,” kata Pak Said pada suatu ketika dengan mimik serius bahkan dengan mata berkaca-kaca. Pilihan ini bukan tanpa resiko. Resiko yang mudah dibayangkan bekerja dengan ulama adalah tidak mendapat gaji yang layak.
Di NU, Pak Said memang dikenal orang yang sangat sederhana. Tidak punya supir pribadi, pakaiannya ala kadaranya, dan rumahnya di Mampang tetap tak berhalaman, meski pernah menjadi Staf Khusus Wakil Presiden Hamzah Haz.
Tapi, meskipun konservatif, Pak Said tetaplah akomodatif. Ia juga bersedia menerima ide-ide baru. Terbukti misalnya ia diterima di majalah Pantau, sebuah majalah dari kelompok liberal. Bahkan Pak Said menduduki posisi bergengsi, yakni Ombudsman. Di sana tiap bulan Pak Said menulis selama dua tahun. Topiknya beragam, jurnalisme, penerbitan, penyiaran, periklanan, dan lain-lain.
Pak Said juga dikenal sebagai orang tua yang tidak suka merecoki anak-anak muda NU yang ‘nakal’. Pak Said lebih suka diam saja. Di NU, sikap diam diartikan na’am (setuju). Inilah salah satu yang banyak dipuji orang dari Pak Said. Ini tentu berbeda dengan beberapa kiai di NU yang mudah mencap tidak sopan, mencap liberal kepada anak muda yang kritis dan progresif.
said budairy
Prof. H.M. Said Budairy wafat pada hari Senin, 30 Nopember 2009. Ia menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Islam Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Kemudian dimakamkan di pemakaman San Diego Hills, Karawang, Jawa Barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar